Habib Ali Zainal Abidin Al Hamid jelaskan tiga poin penting dalam memahami fikih waqi
EDU.ALMUWASHOLAH.COM | Dikutip dari sanadmedia.com. Habib Ali Zainal Abidin Al Hamid mengingatkan bahwa sebagian pendakwah yang tidak bertanggung jawab dan menakutkan telah menyebabkan banyak masyarakat merasa takut dan bingung, yang akhirnya membuat mereka kabur dari ajaran agama Islam. Hal ini beliau sampaikan pada pertemuan Alim Ulama Majlis Al Wafa bi Ahdillah di Pondok Pesantren Al Fachriyah Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Senin (21/08/2023) yang merupakan salah satu rangkaian safari dakwah Habib Umar bin Hafidz, ulama dari Hadramaut, Yaman.
Beliau menyampaikan, fikih waqi (fikih realitas) merupakan salah satu fondasi agama Islam. Dan hal ini menjadi sangat penting dipahami, khususnya bagi para pendakwah. Pemahaman fikih waqi memegang peranan krusial, karena dengan memahaminya, seseorang dapat menghubungkan ajaran agama dengan situasi nyata yang dihadapi oleh individu dalam masyarakat saat ini.
Hal ini penting agar tidak ada lagi orang yang merasa ragu atau menghindari ajaran agama karena adanya ketakutan atau ketidakpahaman terhadap keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman fikih waqi yang kokoh, pendakwah mampu menjembatani kesenjangan antara nilai-nilai agama dan konteks zaman yang terus berkembang.
Ada tiga poin utama dalam fikih waqi yang disampaikan oleh Habib Ali Zainal Abidin Al Hamid dalam majlis tersebut. Pertama, perbedaan mukjizat para nabi yang disebutkan dalam Al Qur’an dapat dilihat sebagai bukti bahwa Allah memahami realitas kehidupan manusia.
Setiap mukjizat yang diberikan kepada setiap nabi tersebut sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat pada masa itu, mencerminkan pemahaman Allah terhadap tantangan dan kebutuhan manusia dalam berbagai situasi.
Melalui mukjizat-mukjizat ini, Allah menunjukkan kebijaksanaan-Nya dalam memberikan solusi kepada manusia serta memperkuat ajaran para nabi sebagai panduan dalam menghadapi perubahan zaman.Kedua, konsep tadarruj dalam berdakwah mengajarkan bahwa kita perlu mengadaptasi pesan agama sesuai dengan penerima dakwah.
Proses dakwah yang bertahap merujuk pada pendekatan yang melibatkan langkah-langkah berjenjang dalam menyampaikan pesan agama kepada individu atau masyarakat.Pendekatan ini mengakui bahwa perubahan pemahaman dan sikap memerlukan waktu serta penyesuaian. Artinya, kita perlu memahami perbedaan dan menyampaikan pesan agama sesuai dengan pemahaman dan kondisi orang yang mendengarkan.
Terakhir, cara Rasul menghormati adat dan kebiasaan masyarakat juga menjadi bagian penting dalam memahami realitas agama.Beliau menceritakan bahwa suatu ketika Sayyidah Aisyah diminta Rasul untuk memanggil gadis yang pandai bernyanyi di acara pernikahan salah satu gadis yatim yang pernah diasuh yang merupakan orang penting suku Bani Najjar di Madinah.
“Rasulullah memahami bahwa kaum Anshar menyukai nyanyian. Tentu nyanyian yang baik. Hal ini menandakan bahwa Rasulullah mempraktekkan fikih Waqi dalam dakwahnya,” ungkap pendakwah yang saat ini tinggal di Malaysia ini.
Prinsip “mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan manfaat” mengingatkan kita bahwa setiap tindakan yang kita lakukan memiliki risiko, dan kita perlu mempertimbangkan baik-buruknya dengan bijak. Terkadang, apa yang kita anggap baik belum tentu dapat kita lakukan. Tausiyah ini mengingatkan kita akan pentingnya memahami realitas kehidupan sekitar dan berusaha menyampaikan ajaran agama dengan cara yang relevan dan bijak sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.