Mengemis Penghormatan – Sayyid Hamid bin Umar bin Hafidz

Jakarta, Education AlMuwasholah

Mengemis Penghormatan ditulis oleh Sayyid Hamid bin Umar bin Hafidz

Bismillahirrohmanirrohim

EDU.ALMUWASHOLAH.COM || Keutamaan ahli bait memanglah diakui dan ditetapkan syariat dan siapapun yang mengingkarinya adalah orang yang sombong.
Tapi bukan ini yang akan saya bicarakan, saya sengaja menyinggung hal ini agar pembaca nanti tidak salah paham sehingga meremehkan atau menyepelekan kenyataan ini.

Kemudian sejalan dengan kemuliaan yang mereka dapatkan berkat tersambungnya nasab mereka kepada Baginda Nabi, termasuk bagian dari pengagungan terhadap Baginda Nabi adalah tampaknya pengaruh dari ta’dhim tersebut dalam pengagungan dan cinta terhadap semua ahli baitnya.
Karena anak dari kekasih kita juga adalah kekasih.
Dan Siapapun yang mencintai seseorang pasti juga mencintai apapun yang berkaitan dengannya.

Kemudian kekuatan iman dalam diri banyak orang mukmin telah mendorong mereka untuk bersikap dan melakukan hal-hal yang bukan hanya mencerminkan rasa ta’dhim mereka terhadap ahli bait tapi juga terhadap Baginda Nabi
Sebagaimana Sayyidina Abu bakar berkata,” Jagalah / Perhatikanlah Nabi Muhammad melalui ahli baitnya”.

Di antara hal tersebut (penghormatan terhadap ahli bait) yang kami temukan di negeri kami misalnya, bahwa masyarakat kami tidak akan bersalaman dengan seseorang dari ahli bait kecuali pasti mereka menarik tangannya untuk kemudian menciumnya, juga mereka memberikan simbol dan pakaian khusus untuk ahli bait dalam acara-acara atau event tertentu.

Lalu setelah berlangsung selama beberapa generasi akhirnya hal semacam ini mulai berubah menjadi semacam adat dan tradisi bagi masyarakat kami secara umum.

Ini semua awalnya mereka lakukan karena dorongan iman mereka terhadap Allah dan rasa cinta mereka terhadap Rasulullah ditambah / dikuatkan lagi dengan keindahan akhlaq nubuwah dan kebaikan yang mereka saksikan dari para sosok ahli bait Nabi.
Meskipun akhirnya, di hati sebagian kecil orang, hal ini mulai berubah menjadi sekedar adat dan warisan budaya yang tanpa sama sekali dilandasi dorongan iman.

Hal semacam ini (pengagungan terhadap ahli bait) sama sekali tidaklah mencerminkan kebodohan atau hina dan rendahnya mereka para pecinta.
Meski sebenarnya bukan hal ini yang ingin kami sampaikan di sini.
Engkau akan bisa memaklumi hal semacam ini saat hatimu dipenuhi rasa cinta terhadap seseorang lalu secara refleks kau terdorong untuk menghormati dan membuat anak-anaknya merasa senang bahkan mungkin melebihi anakmu sendiri.
Ambillah contoh seorang perindu yang juga merasakan hal semacam ini lalu berkata, “Demi Allah, sungguh aku lebih suka memperbaiki hubungan dengan kerabat Rasulullah daripada kerebatku sendiri”.
Ya… Dia adalah Abu bakar As-Shiddiq sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari.

Meskipun sebenarnya bukan poin ini yang akan saya bicarakan, ini semua sekedar basa-basi yang insyaAllah tetap berfaedah.

Poin utamanya…
Saya ingin menyampaikan kepada saudara-saudaraku para pemuda ahli bait…

“Apakah kalian tahu, saat kalian disebut ‘Ahli bait’, sebenarnya bait (rumah) yang mana yang menjadi asal usul kalian??”

“Itu adalah bait (rumah) Baginda Nabi Shalla Allah alaih wasallam, dan semua ummatnya adalah tamunya.
Maka siapa harusnya yang lebih pantas untuk melayani tamu ketimbang ahli bait (Si pemilik rumah)?”

Benar memang, sudah sepantasnya seorang tamu tahu diri, berterima kasih dan memulyakan pemilik rumah yang telah menjamunya, tapi apakah pantas pemilik rumah meminta dan menagih hal tersebut dari para tamu???

Bayangkan, andai saja kamu mengadakan perjamuan besar, lalu saat tamu mulai berdatangan dan berkumpul tiba-tiba anak-anakmu yang semestinya melayani para tamu undangan malah menunjunkkan sikap arogan, congkak, dan mereka mengoceh bahwa merekalah pemilik rumahnya.
Melihat adegan ini kira-kira bagaimana reaksimu??

Apa kau ingin Rasulullah Shalla Allah alaihi wasallah bereaksi semacam itu juga saat melihatmu yang seharusnya melayani dan memulyakan ummatnya lalu malah berlagak sombong dan membual bahwa kau adalah ahli baitnya (pemilik rumahnya).

Saudaraku.. Engkau pasti juga tahu bahwa di antara hal yang dulu mendorong orang-orang memulyakan para leluhur kita adalah akhlaq baginda Nabi yang melekat erat pada diri mereka, maka saat engkau melihat orang-orang mulai berubah maka harusnya ini cukup mengingatkanmu bahwa itu karena kau juga telah berubah… maka mari mulai dengan membenahi diri sendiri…

Andai saja masalah cukup hanya berhenti di sini, bahwa kita telah meninggalkan akhlak para leluhur kita, tapi sialnya ternyata akhlak buruk kita juga telah menghalangi para pecinta untuk mengekspresikan cintanya, atau bisa saja sedikit demi sedikit mengurangi bahkan menghilangkan rasa cinta tersebut.
Terlepas dari apakah hal semacam ini boleh menjadi alasan hilangnya rasa cinta atau tidak,
setidaknya sudah cukup kenyataan bahwa kita telah menjadi penyebab mereka mulai menjauh dari cinta, dan kita telah membantu mereka atas hal ini.
Dan kita khawatir jika di hari kiamat nanti kita dituntut karena telah membantu ( menjadi penyebab) mereka untuk membenci ahli bait.
Maka bukan saja telah kehilangan indahnya akhlak Ahli bait tapi kita juga mendapatkan bagian dosa para pembenci ahli bait karena kita punya andil besar atas kebencian mereka berkat sikap congkak dan buruknya akhlak kita.

Dan tambahkan pula bahwa akhlak kita telah membawa dampak buruk yaitu tercorengnya nama baik para ahli bait pendahulu kita, karena memang orang-orang biasa menyama ratakan dan mereka akhirnya menganggap bahwa memang seperti inilah para asyraaf (ahli bait) di setiap zaman.
Karena tidak semua orang membaca tarajim/ kitab biografi ulama, dan tak semua orang tahu sejarah, mereka hanya bisa tahu dan mengenal sosok leluhur kita melalui yang apa mereka lihat dari kita.

Maka pantaskah para leluhur (datuk) yang telah mewariskan segala hal indah dan menanamkan untuk kita rasa cinta di hati begitu banyak orang, lalu kita balas itu semua dengan menodai dan mencemari kemuliaan mereka, lalu kita paksa orang-orang agar suudzan terhadap mereka para leluhur gara-gara kelakuan buruk kita??

Dalam salah satu muhadharahnya Kakek kami Habib Muhammad bin Salim bin Hafidh menceritakan tentang seorang tokoh Alawiyin yang menasehati anak-anaknya, “ Wahai anak-anakku kami tak menyalahkan orang yang mencela atau memaki datuk-datuk kita yang mulia, karena sebenarnya mereka hanya menganggap bahwa leluhur kita yang telah wafat berkelakuan sama seperti kita, hingga mereka berbicara sesuai apa yang dibisikkan setan kepada mereka”.

Meskipun kami juga tidak mengingkari, bahwa memang ada orang yang dari awal memang diuji oleh Allah dengan rasa iri dan benci terhadap Ahli bait tanpa pandang bulu, tapi sibuk mengurusi mereka sama sekali tak ada gunanya.

Saya tak tahu lagi di mana hilangnya harga diri seseorang yang rela mempermalukan dirinya sendiri dengan mencaci para muhibin yang kurang bisa menghormati atau menjaga adab terhadap sosoknya.

Bayangkan, Andai saja kau meminta dan memaksa seseorang memberimu uang 100 riyal (sekarang senilai 6000 rupiah), tentu ini sangat hina dan memalukan, tapi hal ini masih jauh lebih baik daripada kau meminta dan memaksa seseorang untuk menghormatimu.

Kau tahu kenapa mengemis seratus riyal lebih baik??

Pertama, setidaknya dengan uang seratus riyal kau bisa membeli satu buah tomat untuk kemudian kau makan dan kau masukkan ke dalam perutmu, setidaknya ini bermanfaat dari sisi duniawi.
Tapi apa yang kau dapat saat kau mengemis penghormatan dari orang lain??
Apa kau bisa merasa kenyang saat mendapat penghormatan??
Atau kau mendapatkan afiyah?
Atau kau jadi semakin dekat terhadap Allah?? Atau apa?

Kedua, karena hati para manusia adalah harta termahal yang mereka punya, maka bagi mereka siapapun yang memaksa mereka untuk menghormat dan ta’dhim pasti lebih buruk dari mereka yang mengemis materi.

Dan saya menemukan fakta bahwa adab yang berkaitan dengan cara berinteraksi dengan pribadi Baginda Nabi maupun tentang penghormatan terhadap beliau jarang sekali dijelaskan dalam hadis, melainkan Allah sendiri yang biasanya langsung menjelaskannya secara rinci, demi menjaga agar kehormatan kekasih-Nya ini tak berkurang di mata manusia karena terlihat meminta dihormati, meskipun hal ini (ta’dhim terhadap baginda Nabi) adalah bagian dari agama dan syari’at.

Ketika seseorang kurang beradab saat berbincang dengan Nabi, Allah menurunkan ayat:

لَّا تَجْعَلُوا۟ دُعَآءَ ٱلرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَآءِ بَعْضِكُم بَعْضًا

Janganlah kamu menjadikan panggilan Rasul (Nabi Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).

Bahkan, pun nada suara juga intonasi saat berbicara dengan Nabi, Allah sendiri yang menjelaskannya

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَرۡفَعُوۤا۟ أَصۡوَ ٰ⁠تَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِیِّ وَلَا تَجۡهَرُوا۟ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain..”

Dan saat para tamu tak segera beranjak pulang dari rumah Nabi, lalu Nabi merasa malu untuk menyuruh mereka pulang, Allah langsung menurunkan ayat

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَدۡخُلُوا۟ بُیُوتَ ٱلنَّبِیِّ إِلَّاۤ أَن یُؤۡذَنَ لَكُمۡ إِلَىٰ طَعَامٍ غَیۡرَ نَـٰظِرِینَ إِنَىٰهُ وَلَـٰكِنۡ إِذَا دُعِیتُمۡ فَٱدۡخُلُوا۟

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah…”
Lalu Allah memerinci adab berziarah kepada Nabi dan menemui beliau, dan Allah menjelaskan sebab yang melatarbelakangi itu semua dalam firman-Nya

إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ

Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.

Begitulah Allah mengajari kita adab menemui Nabi, kekasih-Nya, padahal kita semua belajar adab menghadap kepada Allah dari beliau Baginda Nabi, sesuai sabdanya,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”
Seakan-akan Allah berkata kepada beliau, “Muhammad ajarkan kepada hamba-hamba-Ku cara menghadap kepada-Ku maka Aku akan mengajari mereka cara menemui dan menghadap kepadamu”.

Saudara-saudaraku yang mulia, saat kau melihat seseorang yang alpa dan lalai terhadapmu maka hendaknya engkau bersikap seperti kakekmu yang malu dan memaafkan.

Memang benar, terkadang tuntutan dakwah dan penyampaian ilmu memaksa kita menjelaskan keutamaan dan kemuliaan ahli bait, dan itu sebenarnya tak masalah bahkan sangat baik jika memang motifnya adalah mengharapkan kebaikan untuk para pendengar dan menunjukkan pada mereka hal yang bisa mendekatkan mereka kepada Allah tanpa dicampuri ambisi dan dorongan nafsu yang haus penghormatan, dan tanpa menginginkan penghormatan terhadap pribadi pembicara.
Tapi rincian tentang tanda-tanda hal semacam ini bukan poin yang ingin kami bahas.

Dan saya juga mendengar dari Walid (Habib Umar) bahwa setiap kali berdakwah, Kakek kami Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz lebih memilih agar keutamaan dan kemuliaan ahli bait dijelaskan oleh para masyayikh (kyai/ulama selain ahli bait) yang menyertai beliau seperti Syekh Fadhal bin Muhammad Bafadhal, Syekh Mahfud bin Utsman, karena hal ini lebih mudah diterima jika disampaikan oleh mereka.

Saya masih tak bisa mengerti bagaimana mungkin sebagian asyraf /Habaib enggan dan gengsi untuk menimba ilmu dari seorang pakar yang alim dengan alasan dia bukan termasuk ahli bait.
Sebisa mungkin mereka menghindari hal tersebut, dan jika mereka terpaksa untuk belajar, mereka akan belajar dengan penuh rasa malu.

Saya juga heran kenapa sebagian dari kami (habaib) ada yang merasa enggan untuk memuliakan, memberikan penghormatan dan mengedepankan orang alim yang memiliki keutamaan hanya karena mereka bukan termasuk ahli bait.

Saya tidak mengingkari bahwa intisab (bernasab) kepada Nabi adalah keistimewaan dan nikmat dari Allah, tapi sejak kapan tidak intisab (tak bernasab) kepada nabi dianggap sebagai dosa dan kesalahan yang hina sehingga mereka yang tak punya nasab (kepada Nabi) tak pantas dimuliakan?

Saya juga heran jika di antara kami (habaib) ada yang enggan berbaur dan mendekat dengan selain ahli bait, bahkan mungkin ada yang enggan sekedar berdiri sejajar dengan mereka saat zafin, karena menganggap mereka tak sebanding dengan kita, hal semacam ini juga terjadi di kalangan wanita (syarifah)!!!.

Apa ada penjelasan lain untuk hal semacam ini selain sifat sombong dan tertipu???

Lalu ada orang yang salah sangka dan menganggap hal ini adalah demi menjaga adat salaf (ajaran para leluhur habaib)!!

Dan saya ulang kembali, Naudzu billah saya tidak sedang merendahkan kemuliaan yang dimiliki para habaib, dan tidak ingin menjadikan kesalahan oknum (sebagian kecil) dari mereka sebagai alat untuk menghapus kebaikan dan kemuliaan mereka,
Ini hanya kesalahan yang menjadi cobaan bagi sebagian kecil dari kita dan saya memohon agar Allah segera menolong kita.
Melalui tulisan ini saya hanya ingin mengingatkan bagaimana seharusnya mereka (para habaib) bereaksi terhadap keburukan dari orang lain sebegaimana saya jelaskan tadi.

Wallah a’lam

Penerjemah: Ustadz Ahmad Khoiron Hasan Hanafie
Sumber: https://aboaladyaf.blogspot.com/2024/05/blog-post.html?m=1

Related Articles

EDU.ALMUWASHOLAH.COM | Dikutip dari cnnindonesia.com. Ulama sekaligus pendakwah asal Yaman, Habib Umar bin Hafidz, datang ke Indonesia untuk mengisi sejumlah kegiatan keagamaan. Ia dijadwalkan melawat…