Hikam Imam Al-Haddad 8: Celaan Yang Menentang Takdir Allah

نَازَعَ الْأَقْدَارَ مَنْ اِسْتَقْبَحَ مِنْ أَخِيْهِ مَا لَا يَدْخُلُ تَحْتَ الْإِخْتِيَارِ

Siapa yang memandang buruk saudaranya atas sesuatu yang tidak berada di bawah kendalinya, ia telah menentang ketentuan Allah.

 

Dalam hikmah ini Imam al-Haddad membahas mengenai celaan. Mencela seseorang adalah perbuatan haram dan akhlak yang harus ditinggalkan. Nabi Muhammad saw. bersabda,

ما بعثت سبّابا ولا لعّانا

“Aku tidak diutus sebagai seorang pencela dan pelaknat.”

Mencela dan mencaci orang lain itu dilarang dan dosa. Hal ini sudah jelas. Namun, ada celaan yang sangat besar dosanya sehingga disebut lancang terhadap qada dan qadar Allah. Celaan jenis ini tergolong dosa besar karena meliputi dua dosa: dosa celaan dan dosa kelancangannya kepada takdir Allah. Celaan jenis inilah yang disebutkan oleh Imam al-Haddad dalam hikmah ini: Sungguh telah lancang dan bersikap kurang ajar kepada ketentuan Allah orang yang menjelek-jelekkan apa yang berada di luar kuasa saudaranya.

Seandainya kita mencela seseorang atas perbuatan buruknya, hal ini termasuk perbuatan dosa, tetapi tidak termasuk dalam kategori kelancangan kepada Allah. Misalnya mencela seseorang yang bodoh akibat keengganannya untuk belajar. Pelakunya berdosa, tetapi hanya mendapat satu dosa. Hal ini karena kepandaian dan kebodohan merupakan hal yang dapat diusahakan seseorang. Orang itu dapat memperbaikinya, tetapi dia tidak mau. 

Perlu diingat bahwa mencela hal ini juga salah dan tidak diperbolehkan. Sikap kita terhadap orang yang demikian hendaknya bukan mencelanya, melainkan memberinya nasihat, saran, atau dorongan. Nasihat yang tulus tidaklah disampaikan di depan umum, tetapi disampaikan kepada orang tersebut tanpa didengar oleh orang lain. Nasihat yang disampaikan di depan orang lain akan membuatnya merasa malu dan enggan mengakui kesalahannya.

Namun, jika yang kita jelek-jelekkan bukanlah hasil perbuatannya, dosanya dua kali lipat. Misalnya mencela bentuk fisik, warna kulit, suku, atau tinggi badan. Seseorang yang dicela karena asal negaranya, misalnya, tentu saja tidak punya kuasa untuk memilih di negara ia dilahirkan. Orang yang mencelanya mendapat dosa yang berlipat, yaitu dosa mencela dan dosa karena bersikap lancang atas takdir Allah. Berbeda halnya dengan memilih-milih ketika hendak menikahi seseorang berdasarkan suku atau fisik, misalnya. Hal ini tidak mengapa selama tidak mencela.

Oleh sebab itu, ridolah terhadap pemberian Allah dan jangan mencela orang lain atas apa yang diberikan Allah kepadanya. Kalau kita mencela pemberian Allah, seakan-akan kita telah menyalahkan Allah. Termasuk ketidakridoan seseorang terhadap ketentuan Allah adalah apabila seseorang mengubah fisiknya dengan cara-cara tertentu yang diharamkan, misalnya operasi plastik. Namun, ada pula pengubahan fisik yang tidak diharamkan. Untuk mengetahuinya secara terperinci, silakan merujuk pembahasan fuqaha dalam ilmu fikih.



 

Related Articles