Hikam Imam Al-Haddad 9 : Sikap Keridoan Terhadap Ketentuan Takdir Allah

 

اَلرِّضَا بِالْقَضَاءِ يَنْتَفِي مَعَهُ الْإِعْتِرَاضُ عَلَى اللهِ. وَ يَبْقَى مَعَهُ الطَّلَبُ لِمَا يَنْبَغِي أَنْ يُطْلَبَ. وَ الْهَرَبُ مِمَّا مِنْهُ يَهْرَبُ

Keridoan akan ketentuan meniadakan protes kepada Allah. Akan tetapi, bersama keridoan itu, kita tetap perlu mencari apa-apa yang layak dicari serta lari dari apa yang selayaknya kita hindari.

Allah telah menetapkan perkara atas hamba-Nya. Karena hal ini termasuk rukun iman, kita wajib percaya bahwa ketentuan Allah itulah yang akan terjadi. Hal baik ataupun buruk itu dari Allah. Di situ kita diwajibkan untuk rido atau rela.

Pertanyaannya, apakah rela itu maksudnya kita tidak perlu bergerak? Apakah jika kita bergerak, gerak itu bertentangan dengan kerelaan kita atas takdir Allah? Pertanyaan itu akan dibahas pada kalam ini.

Dari hikmah ini, ada beberapa poin yang bisa kita tarik, yaitu

  1.     Rido adalah tidak protes atau komplain atas ketentuan dari Allah.
  2.     Bersama keridoan, kita tetap harus melakukan usaha-usaha yang sepatutnya kita lakukan
  3.     Bersama keridoan, kita tetap harus lari dari apa-apa yang sepatutnya kita hindari

Terkait dengan poin pertama, yang dikatakan rido adalah tidak komplain atau protes. Contohnya terkait dengan umur, kita wajib rido. Ketika seseorang yang kita cintai meninggal, kita boleh sedih, tetapi tidak boleh komplain. Jika ada yang meninggal, lalu kita membahas sebab meninggalnya orang itu dengan niatan untuk mewanti-wanti atau untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi hal semisalnya, hal itu tidak termasuk komplain.

Poin kedua, bersama keridoan tersebut, kita tetap harus mencari apa-apa yang layak dicari. Jadi, tetap dianjurkan untuk bergerak. Misalnya, seseorang mengatakan ia rido, kemudian dia diam saja dan tidak mau bergerak. Dia mengira bahwa rido adalah diam di tempat dia berada saat itu. Jika ia bergerak atau berpindah dari posisi itu, dia mengira upaya gerak yang dia lakukan itu berlawanan dengan keridoan yang ia lakukan, padahal kenyataannya tidak begitu.

Contoh, seseorang sedang berada di suatu tempat. Ia bilang ia rela di tempat tersebut. Kemudian tiba-tiba ada harimau datang. Jika orang tersebut lari dari harimau itu, apakah dikatakan ia lari dari takdir Allah? Tentunya tidak begitu. Jika dia kabur dari harimau itu, ia tetap sedang menjalani takdir dari Allah.  

Ada sebuah kisah yang menggambarkan hal ini. Pada zaman Khalifah Umar r.a., ada taun (wabah) amwas yang sedang terjadi. Sayidina Umar r.a. sedang dalam perjalanan menuju Syam, lalu tersiar kabar bahwa di Syam sedang terjadi taun amwas. Lalu, diputuskanlah oleh Sayidina Umar r.a. untuk kembali dan tidak melanjutkan perjalanan tersebut. Kemudian, ada seorang sahabat yang bingung dan bertanya, “Sayidina Umar, apakah engkau lari dari takdir Allah?”

Sayidina Umar r.a. menjawab, “Ya, aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”

Adalah suatu kesalahan yang besar jika kita jadikan takdir Allah sebagai alasan, padahal kita tidak tahu apa yang Allah takdirkan karena takdir itu ada banyak. Kita diwajibkan untuk berusaha. Kalau kata orang-orang ateis atau liberalis, “Buatlah takdirmu dengan tanganmu sendiri.” Sebenarnya maksud kalimat tersebut kalau dalam pemahaman kita, bergerak dengan tangan kita sendiri itu adalah usaha. Karena kita tidak tahu takdir kita ke depan itu yang mana, kita diwajibkan untuk berusaha. Jika ada harimau, lalu kita lari dari harimau itu, maka gerak kita untuk lari dari harimau itu adalah takdir Allah.

Dalam ilmu tauhid ada pembahasan takdir yang tidak berubah. Akan tetapi, ada beberapa hadis yang menyebutkan bahwa sedekah akan memanjangkan umur, silaturahmi juga dapat memanjangkan umur, dan doa dapat mengubah takdir. Memang doa itu naik ke atas, sementara qada ke bawah. Jadi, ketika qada turun, akan bertemu dengan doa-doa kita yang naik ke atas. Pertanyaannya, qada yang manakah yang berubah?  

Qada ada dua jenis, yaitu qada mubram dan qada mu‘allaq. Qada mubram adalah qada yang tidak bisa diubah sama sekali, misalnya wafat. Sementara itu, di bawah qada mubram ada qada mu‘allaq, yaitu ketentuan yang dikaitkan dengan suatu perkara. Misalnya si Fulan umurnya 60 tahun, tetapi karena bersedekah, umurnya bertambah 10 tahun, jadi 70 tahun. Apa yang terjadi di bumi akan sesuai dengan qada mubram. Kenyataannya si Fulan ini bersedekah, maka bertambah umurnya 10 tahun. Dalam contoh tersebut umur 70 tahun adalah qada mubram, sedangkan qada mu‘allaq tertulis 60 tahun kecuali apabila bersedekah, maka umurnya bertambah 10 tahun. Kenyataannya si fulan ini bersedekah, jadi sesuai dengan qada mubram.

Jadi, doa yang dapat menangkal qada maksudnya adalah qada mu‘allaq. Akan tetapi, pada ujungnya pasti qada mu‘allaq akan sama dengan qada mubram.

Kita berkewajiban untuk rido akan qada itu. Jangan komplain. Keridoan terhadap qada bukan berarti kita tidak berusaha. Tetaplah mencari apa yang harus dicari. Jangan hanya atas nama qada jadi membenarkan perilaku malas, tidak mau bergerak untuk mencari apa-apa yang seharusnya dicari dan menghindar dari apa-apa yang sebaiknya kita hindari.

Related Articles