Hikam Imam Al-Haddad 17 : Bahaya Mencoba Tekad Buruk

Education AlMuwasholah | Hikmah Ke-17

إِذَا دَعَتْكَ نَفْسُكَ إِلَى شَهْوَةٍ ، فَإِيَّاكَ أَنْ تَقُولَ

أُجِيبُهَا فِي هَذِهِ ، وَأُفَرِّغُ الْقَلْبَ مِنْ مُطَالَبَتِهَا ، فَإِنَّكَ إِنْ

أَجَبْتَهَا إِلَيْهَا دَعَتْكَ إِلَى أَعْظَمَ مِنْهَا

“Bila hawa nafsumu mengajakmu untuk melampiaskan syahwatmu, janganlah kau berkata akan menurutinya kali ini dan akan mengabaikannya di kemudian hari. Kosongkanlah hatimu dari keinginan untuk memenuhinya. Sebab, jika kau penuhi, nantinya ia (nafsu) akan mengajak kepada perkara yang lebih besar.”

Hikmah ini berkaitan dengan tekad untuk melaksanakan amal yang buruk dan bagaimana cara kita menyikapinya. Secara sederhananya, tekad yang baik perlu langsung kita lampiaskan, jangan diabaikan. Sebaliknya, tekad yang buruk, bila muncul harus kita abaikan. Sekarang, Imam al-Haddad membahas perihal tersebut.

Subhanallah, ini berat, semua amal baik maupun amal buruk, awal mulanya dari hati, awal mulanya dari tekad. Ketika seseorang bertekad melaksanakan amal buruk, itu berdosa atau tidak? Tidak, ’kan? Oke. Selanjutnya, tatkala dia melampiaskan atau mengamalkan maksiat itu? Sudah ditulis belum oleh malaikat? Belum, tidak ditulis oleh malaikat. Masih ditunggu dulu, sampai ketika dia berbuat maksiat terus dan tidak bertaubat, barulah dosa maksiat tersebut ditulis.

Nah, andai kondisinya seperti ini, dia sudah bertekad melaksanakan pekerjaan buruk, namun ketika tiba saatnya, dia bisa menahan diri untuk tidak melaksanakan perbuatan buruk tersebut, maka apa yang dia dapat? Dia akan mendapatkan pahala. Padahal, dia sudah punya tekad buruk. Namun, karena dia bisa menahan hawa nafsunya, dia diberi ganjaran oleh Allah Ta‘ala. Tekad yang buruk ini penyakit yang berbahaya.

Bila hawa nafsumu mengajak untuk melampiaskan syahwatmu, artinya di sini kita diajak melampiaskan tekad yang tidak baik, terlintas di hati kita untuk mengamalkan perbuatan buruk atau maksiat; berhati-hatilah, jangan sampai hatimu bilang, “Tidak apa-apalah, kali ini aku menurut. Untuk selanjutnya aku akan mengosongkan hatiku bila ia menuntutku lagi.” Imam al-Haddad menyampaikan, “Jangan seperti itu! Sebab, bila engkau menurutinya kali ini, nafsu itu akan mengajakmu ke perkara yang lebih dahsyat keburukannya daripada yang sekarang dijalani.” Ini tidak bakal terlepas, terus-menerus masuk dalam lingkaran kegelapan. Manakala engkau rela sekali saja, yang ada itu akan masuk ke suatu lingkaran yang kita akan susah ditarik dari lingkaran itu.

Jadi, kuncinya adalah sekarang. Tidak ada ceritanya berkata, “Sudah, kali ini saja.” Tidak. Itu bahaya besar. Kalimat “kali ini saja” adalah permulaan kegelapan abadi. Amatlah susah keluar dari kegelapan itu. Sebab, ketika engkau masuk dan merasakan ‘kelezatan’ maksiat, yang hakikatnya itu tipu daya syaitan, itu membuatmu ketagihan dan menghilangkan kelezatan taatmu. Akan menjadi berat bagi kita menjalankan ketaatan dan timbul ketagihan akan maksiat. Bahkan, kata Imam al-Haddad, ini tingkat maksiatnya akan lebih berat lagi. Demikian seterusnya.

Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Jalan keluarnya dengan inayat (pertolongan) Allah. Inayat Allah adalah bentuk perhatian Allah kepada hamba tersebut. Caranya, misal, Allah dekatkan hamba yang bermaksiat tadi dengan orang saleh. Tatkala dia memandang orang saleh, atau dipandang orang saleh, langsung dikeluarkan ia dari lingkaran buruk itu. Atau bisa juga, masih terkait dengan inayat Allah, Allah tarik dia langsung tanpa perantara, tapi yang seperti ini jarang terjadi. Maka dari itu, saat di pikiran kita terlintas hal buruk, jangan kita katakan, tidak apa-apa sekali ini. Itu berbahaya, berbahaya, berbahaya sekali. Imam al-Bushiri berkata,

وَالنّفْسُ كَالطّفِلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ

Nafsu ini bagai anak kecil yang masih menyusu yang selesai selepas dua tahun (disapih, dijauhkan dari susu). Kalau sudah waktunya, engkau tidak tega menyapihnya, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, sampai besar. Ada yang sampai besar tidak bisa lepas dari susu karena tidak tega melepaskannya. Dia akan menjadi remaja yang dalam keadaan masih menyusu. Jadi, kuncinya adalah
Satu, lepaskan atau jauhkan dia dari susu. Menangis? Pasti menangis. Begitu pula dengan hawa nafsu, cegahlah dia dari syahwat, cegahlah dia dari perbuatan buruk. Menangis? Pasti menangis, berat kita. Tapi, nanti dulu, setelah dijauhkan dari susu, dia akan lupa soal susu, bahkan jijik terhadap susu. Begitu pula hawa nafsu. Bila dituruti sebagaimana lingkaran, ada niat keji, dilaksanakan, ada niat yang lebih keji berikutnya, dilaksanakan; akan terbentuklah lingkaran kegelapan yang tidak ada habisnya.

Maka, Imam al-Haddad menyampaikan bahaya perkataan, “Tidak apa, kali ini saja habis itu taubat,” padahal justru dengan masuknya nafsu, harapan untuk bertaubat akan susah. Lalu, bukankah ada taubat pada setiap maksiat? Begini, adalah berbeda antara orang yang berbicara kepada dirinya untuk bertaubat sebelum melaksanakan maksiat dengan yang berkata demikian setelah melaksanakan maksiat. Berbeda jauh. Contohnya bagaimana? Ada orang bermaksiat, jatuh maksiat, dia menyesal lalu taubat. Bagus, tidak? Bagus, dan terus seperti itu. Tapi, ada orang kedua, dia belum maksiat, dia mau bermaksiat, dan dia berkata pada dirinya, “Taubat itu bagus, Allah itu Maha Pengampun segala dosa.” Ini ceritanya dia belum melaksanakan maksiat, namun dia beriming-iming dengan taubat. Bagus tidak? Berbahaya, justru ini akan membawa dia kepada maksiat.

Suatu ketika, Imam asy-Syafi‘i pernah ditanya oleh seseorang dalam keadaan menangis, “Wahai Imam, apakah ada taubat bagi seorang yang sudah pernah membunuh?” Langsung dijawab spontan oleh beliau, “Ada taubat dan tidak akan Allah tutup pintu taubatnya.” Orang itu lalu pergi. Tidak lama kemudian ada orang lain, mukanya merah, dia tanya kepada Imam asy-Syafi‘i, “Wahai Imam, apakah orang yang membunuh itu akan diterima taubatnya oleh Allah?” Imam asy-Syafi‘i menjawab, “Tidak, orang yang membunuh tidak akan Allah ampuni.” Orang itu lalu pergi.

Murid Imam asy-Syafi‘i melihat kejadian itu bingung, kenapa jawaban terhadap orang tadi berbeda, padahal pertanyaannya sama? Dikatakan orang pertama akan diterima taubatnya, orang kedua tidak bakal diterima? Imam asy-Syafi‘i menjawab, beliau melihat orang yang pertama menangis menyesal karena dia telah membunuh. Dia mencari pengampunan Allah, pasti Allah akan mengampuninya. Adapun orang kedua mukanya merah. Dia dalam keadaan marah. Dia belum membunuh orang, namun baru mau membunuh orang. Jika dijawab dengan jawaban yang sama, pasti orang ini akan membunuh betulan. Maka dari itu dikatakan, tidak boleh dia membunuh, tidak bakal diampuni Allah kalau dia membunuh. Nah, seperti itu, berbeda antara orang yang berniat bertaubat setelah jatuh kepada maksiat dengan orang yang berniat bertaubat sebelum jatuh kepada maksiat.

Jadi, intinya apa? Tatkala hawa nafsumu mengajak kepada hal yang keji, abaikanlah ia dan jangan engkau lampiaskan. Jangan beri toleransi sedikit pun! Karena sekali kau beri kesempatan, engkau akan diseret menuju perkara yang lebih dahsyat dan akan berada terus dalam lingkaran kegelapan tiada hentinya.

Kunci keluar dari kegelapan adalah bergaul dengan orang saleh. Adalah susah keluar dari lingkaran kegelapan, kecuali dengan mendapatkan pertolongan dari orang-orang yang Allah Ta‘ala izinkan mereka untuk menolong dengan cintanya Allah, sehingga dengan cinta-Nya itu seseorang bisa langsung dikeluarkan dari lingkaran kegelapan tersebut.

Related Articles