
Hikam Imam Al-Haddad 16 : Menunda Tekad Baik
Education AlMuwasholah | Hikmah ke-16
مَنْ تَعَوَّدَ نَقْضَ الْعَزَائِمِ حِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْغَنَائِمِ
“Barang siapa terbiasa mengurungkan tekadnya, terhalanglah karunia dari dirinya.”
Hikmah ini sangat ringkas, tapi maknanya sangat dalam. Hikmah ini membahas tentang tekad. Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa barang siapa berniat untuk melakukan amal yang baik, maka niat tersebut akan dicatat sebagai pahala oleh malaikat. Kemudian, apabila niat tersebut diamalkan, akan dicatat sebagai pahala juga. Dan barang siapa berniat dan melakukan maksiat, maka niatnya tidak langsung dicatat sebagai dosa. Malaikat masih menunggu taubatnya. Namun, apabila sudah lewat beberapa saat (dalam riwayat disebutkan tujuh jam lamanya), barulah ditulis sebagai satu dosa. Keutamaan ini hanya berlaku pada umat Nabi Muhammad, sementara umat terdahulu langsung dicatatkan dosanya saat berniat melakukan maksiat.
Tekad untuk melakukan kebaikan bisa mendatangkan pahala, bahkan sebelum amal itu dilakukan. Sebaliknya, niat buruk belum dihitung sebagai dosa, kecuali jika benar-benar dilakukan dan tidak disertai taubat. Dalam hikmah ini, kita tidak membahas soal niat buruk, tapi fokus pada tekad untuk berbuat kebaikan. Meskipun niat itu berpahala, jangan sampai kita salah paham dan menganggap bahwa “niat saja sudah cukup”. Apakah orang yang hanya berniat tanpa bertindak bisa disebut benar-benar punya tekad? Dalam hikmah ini, Imam Al-Haddad menjelaskan jenis-jenis tekad dan bagaimana kita menyikapinya agar menjadi jalan meraih pahala.
“Barang siapa terbiasa mengurungkan tekadnya, terhalanglah karunia dari dirinya.”
Imam Al-Haddad menjelaskan, jika ada seseorang berniat melakukan kebaikan pada waktu tertentu, lalu menundanya dengan alasan “masih ada hari esok”, dan terus mengulanginya, ia akan terhalang dari anugerah. Bahkan, lama-kelamaan hati pun bisa kehilangan kemampuan untuk melahirkan niat-niat baik. Niat baik yang terlintas di hati adalah bentuk karunia dari Allah, maka jangan disia-siakan. Jika kita menjaga dan mewujudkan tekad itu, Allah akan terus menganugerahkan niat-niat kebaikan lainnya ke dalam hati kita.
Ini menjadi peringatan bagi siapa saja yang sering menunda-nunda niat baik. Imam ‘Abdul-Wahhab asy-Sya‘rani pernah menceritakan kisah seseorang yang sedang mandi. Tiba-tiba terlintas dalam hatinya keinginan untuk bersedekah. Ia pun langsung berteriak dari kamar mandi, “Setelah mandi, aku akan bersedekah kepada fulan.” Tindakannya membuat penghuni rumah kebingungan, lalu salah satu dari mereka bertanya, “Mengapa engkau melakukan hal seperti itu? Bukankah lebih baik jika disembunyikan saja?” Ia pun menjawab, “Aku melakukannya karena ingin menjaga tekadku. Saat sedang mandi tadi, tiba-tiba terlintas keinginan untuk bersedekah. Aku khawatir akan lupa dan akhirnya kehilangan kesempatan mendapatkan pahala dari niat tersebut. Selain itu, aku berharap jika nanti aku lupa, ada di antara kalian yang akan mengingatkanku.” Setelah selesai mandi, ia pun langsung bergegas melaksanakan sedekahnya.
Niat baik adalah khathir rabbani, lintasan hati yang berasal dari Allah. Dalam pandangan para ulama tasawuf, lintasan hati bisa datang dari empat sumber: Allah, malaikat, hawa nafsu, dan setan. Maka ketika datang lintasan kebaikan, kita harus segera menjaganya. Amal saleh selalu bermula dari niat dan tekad. Ia bagai percikan api yang bisa menyalakan sumbu. Karena itu, jangan biarkan tekad padam atau batal, agar Allah tidak mencabutnya dari hati kita.
Wujudkanlah niat baik dalam bentuk amal, sebab amal itu akan membuka jalan bagi munculnya niat-niat baik berikutnya. Biarkanlah roda kebaikan itu terus berputar. Jika terbiasa menunda, bahkan membatalkan niat baik, dikhawatirkan hati akan menjadi tumpul hingga tak lagi mudah tergerak pada kebaikan.
Begitu pentingnya niat yang baik, sampai-sampai para orang saleh terdahulu menganjurkan agar orang yang sedang mengalami sakaratul maut tetap dituntun untuk meniatkan amal kebaikan. Dalam sebuah hadis juga disebutkan,
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَ فِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Apabila sangkakala akan ditiup sementara di tanganmu masih ada sebutir bibit kurma, selagi engkau dapat menanamnya sebelum hari kiamat datang, tanamlah.” (HR Bukhari dan Ahmad)
Niat memang memiliki nilai pahala dan kita serahkan sepenuhnya kepada Allah, terlepas dari apakah niat itu sempat terwujud atau tidak. Niat itu sendiri adalah amal. Jika kita tidak dapat mewujudkannya, kita tetap mendapatkan pahala yang sempurna. Namun, jika kita mampu mewujudkan niat baik tapi malah mengabaikannya, itu bisa berakibat buruk bagi kehidupan ruhani kita.
Pahala dari sebuah niat sangat bergantung pada sikap kita ketika datang waktunya untuk mewujudkannya. Jika saat itu kita mampu melakukannya tetapi malah mengabaikannya, pahala pun bisa hilang. Akan tetapi, jika kita sungguh berniat dan ternyata tidak mampu melakukannya, insyaallah pahala tetap diberikan secara sempurna.
Dikisahkan ada seorang miskin yang sedang berjalan melewati bukit di padang pasir dan pada waktu itu sedang terjadi musim paceklik. Ia pun berdoa, “Ya Allah, jika aku memiliki gandum sebanyak bukit ini, niscaya akan aku sedekahkan semuanya untuk orang-orang di kotaku agar mereka tidak lagi kelaparan.”
Saat kelak dihisab, ia terkejut melihat catatan pahala sedekah sebesar bukit gandum. Ia pun bertanya, “Ya Allah, bukankah aku tidak pernah bersedekah sebanyak ini?” Allah menjawab, “Benar, tetapi engkau pernah bertekad demikian, maka inilah pahala dari tekadmu itu.” Ia pun diberi pahala sempurna karena niatnya tulus meski ia benar-benar tidak mampu merealisasikannya.