Hikam Imam Al-Haddad 18 : Rasa Lezatnya Ibadah

Education AlMuwasholah | Hikmah Ke-18

لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ حَقِيقَةَ الْإِيمَانِ حَتَّى يَجِدَ فِي

مُعَامَلَةِ الْحَقِّ مَا يَجِدُ أَهْلُ الشَّهَوَاتِ فِي شَهَوَاتِهِمْ مِنَ

اللَّذَّةِ وَالْحَلَاوَةِ

“Seorang hamba tidak mencapai hakikat keimanan sampai ia mendapatkan kelezatan dan rasa manis saat berhubungan dengan Allah sebagaimana yang dirasakan oleh orang yang gemar melampiaskan syahwatnya.”

Pada hikmah kali ini, Imam Al-Haddad membahas perihal cita rasa (الذوق والوجدان). Rasulullah bersabda dalam hadisnya,

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Seseorang akan merasakan manisnya keimanan apabila ia rido kepada Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya.” (HR Muslim)

Ketika seseorang telah mendalami makna keridoan, ia akan merasakan manisnya keimanan. Jika kita memperhatikan kata  ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ pada hadis tersebut, tentunya kita akan bertanya, “Apakah iman mempunyai rasa? Seperti apa rasa keimanan itu?” Tentunya di dalam keimanan, salat, dan puasa terdapat rasa yang bisa dirasakan oleh seorang hamba. Imam Al-Haddad membahas bagaimana cita rasa yang dirasakan oleh orang yang sempurna imannya ketika ia sedang beribadah.

Cita rasa merupakan pembahasan yang sangat penting, bahkan ilmu pun mempunyai cita rasa. Banyak orang yang merasa terbebani ketika ia sedang beribadah ataupun menuntut ilmu. Apabila kita bertanya, “Mengapa mereka merasa terbebani ketika beribadah ataupun menuntut ilmu?” jawabannya adalah, “Karena mereka tidak merasakan kenikmatannya.”

Habib ‘Abdur-Rahman Bilfaqih mengatakan,

ومن يكن بكل علم عالم  ولم يذقها فهو الساحن النائم 

“Siapa yang mengetahui segala ilmu tetapi tidak bisa merasakan rasa dari ilmunya, orang tersebut bagaikan orang yang sedang mengigau.”

Walaupun kita mengobrol panjang dengan orang, membahas segala keilmuan, pada hakikatnya ia bagaikan orang yang sedang mengigau. Orang yang tidak merasakan manisnya ilmu dikhawatirkan meninggal dalam keadaan suulkhatimah (فخاف عليه ما يخاف الهائم عند كفاح الموت  والأحوال). Sebab, ketika datang sesuatu yang dahsyat, ia tidak bisa menggunakan ilmu itu, padahal ia merupakan orang yang alim.

Ketika ada orang yang sedang beribadah kemudian ia tidak meresapi ibadah tersebut, seakan- akan ibadah itu adalah beban, orang semacam ini dalam keadaan yang berbahaya. Ketika seorang manusia, dengan sifat manusianya ia mempunyai nafsu kemudian melampiaskannya, apa yang akan ia rasakan? Tentu saja kenikmatan dan kelezatan. Ketika seseorang merasa lapar, menginginkan suatu makanan dan kemudian mendapatkannya, ia akan sangat menikmatinya. Contoh lain yang dapat digambarkan adalah ketika seorang laki-laki sedang berhubungan. Tentu saja keduanya akan merasakan kenikmatan yang luar biasa .Begitu juga orang yang sedang mendaki gunung, tentunya ia akan menikmati pemandangan yang luar biasa indah. Semua itu merupakan pelampiasan dari syahwat: baik syahwat makan, hawa nafsu, syahwat pandangan, maupun syahwat pendengaran.

Apabila seseorang yang beribadah kepada Allah sudah bisa merasakan kenikmatan dan kelezatan sebagaimana yang dirasakan oleh orang yang menuruti syahwatnya, ketika itulah ia telah mencapai hakikat keimanan. Kalau ia bisa mendapatkan segala yang didapatkan ahli syahwat dalam ibadah mereka (keindahan, kenikmatan, dan kemanisan), tidak usah kita tanyakan kepada mereka, “Apakah tidak mengantuk ketika bangun malam? Apakah tidak merasa lapar ketika berpuasa?” Sebab, orang tersebut senantiasa menikmatinya. Sudah hilang dalam dirinya rasa lelah, letih, ataupun kantuk.

Terdapat sebuah kisah yang mungkin telah diketahui oleh banyak dari kita, yaitu kisah tentang Habib ‘Umar bin ‘Abdur-Rahman al-‘Attas. Habib ‘Umar al-‘Attas merupakan orang yang senantiasa bangun malam walaupun usianya telah menua dan telah dekat akhir hayatnya. Beliau melaksanakan salat tahajud, berdiri sampai waktu subuh datang, hingga seorang muridnya berkata kepadanya, “Apakah engkau tidak merasa lelah, ya Habib?” Maka dijawab, “Saya tidak merasa lelah, malah saya merasakan kenikmatan.”

Habib ‘Umar al-‘Attas berusaha memberikan pemahaman kepada muridnya yang bertanya bahwa ia merasakan kenikmatan dalam melaksanakan kegiatannya itu, tetapi sang murid tak kunjung paham. Beberapa hari kemudian, ketika sedang berjalan berdua bersama muridnya tersebut pada malam hari, mereka melewati acara pernikahan orang lain (kebiasaan orang Tarim pada malam hingga pagi hari setelah acara perkawinan mengadakan samar). Ia pun berkata kepada muridnya, “Mereka sedang apa?” Muridnya menjawab, “Itu ada samar (semacam gambus) yang dilaksanakan sampai pagi.” Sang guru bertanya, “Mereka berdiri atau duduk?” Dijawab oleh yang murid, “Mereka berdiri.” Guru pun bertanya kembali, “Apakah mereka tidak merasa lelah?” Dijawab, “Tentu saja tidak. Mereka justru menikmati. Mereka merasa kecewa ketika acaranya selesai.” Maka sang guru berkata, “Wahai muridku, kemarin engkau bertanya kepadaku, ‘Mengapa engkau tidak merasa lelah saat melaksanakan salat tahajud?’ Sekarang ini buktinya. Kalau mereka bisa hilang rasa lelahnya karena kenikmatan duniawi yang mereka rasakan, bagaimana mungkin aku tidak hilang lelahku karena nikmat ukhrawi yang aku rasakan saat qiamulail?”

Ketika orang-orang telah mendapatkan hakikat keimanan, mereka akan merasakan kenikmatan ketika beribadah sebagaimana orang-orang ahli dunia merasa kelezatan melampiaskan syahwat. Mereka inilah orang-orang yang sempurna keimanannya. 

Namun, yang menjadi pertanyaan, “Bagaimana cara mendapatkan hakikat keimanan?”

Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang ketika dilahirkan langsung mendapatkan hakikat keimanan. Tentunya untuk mendapatkannya perlu ada mujahadah dan kesungguhan. Sebagian orang salih berkata, “Aku bangun malam selama 20 tahun dengan cara memaksa diriku, kemudian aku bisa merasakan lezatnya setelah 20 tahun itu berlalu.” Jadi, setiap orang harus melalui masa mujahadah. Pada saat itu ia memaksa dirinya dan istiqamah. Setelah melalui itu, ia akan mulai mencicipi lezatnya rasa manis dari ibadah tersebut. 

والذين جاهدوا فينا لنهديهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين

“Mereka yang bermujahadah di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan menuju kami. Sesungguhnya Allah senantiasa bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-‘Ankabut: 69)

Untuk mendapatkan kelezatan dalam beribadah, terdapat beberapa cara: pertama, dengan mujahadah; kedua, dengan mendekati orang-orang yang telah mencicipi ibadah yang mereka lakukan; ketiga, dengan berdoa kepada Allah.

Terdapat pula faedah: Ada tiga cara untuk mendapatkan akhlak yang baik, seperti ketawadukan dan keikhlasan. Pertama, mengetahui keutamaannya. Kedua, mendekati orang-orang yang telah mempunyai akhlak itu. Ketiga, berdoa kepada Allah agar mendapatkannya. Dengan ketiga hal tersebut, akhlak apa pun bisa kita raih.

Related Articles