Hikam Imam Al-Haddad 2: Menempatkan Diri sebagai Hamba
Hikmah Ke-2
مَا تَرَكَ مِنَ الْكَمَالِ شَيْئًا مَنْ أَقَامَ نَفْسَهُ مِنْ رَبِّهِ مَقَامَ عَبْدِهِ مِنْ نَفْسِهِ
Tidaklah meninggalkan kesempurnaan apa pun, seseorang yang menempatkan dirinya di hadapan Tuhannya sebagaimana dia menempatkan hamba sahayanya di hadapan dirinya
Hikmah ini masih mempunyai hubungan dengan hikmah yang sebelumnya, yaitu sama-sama membahas tentang hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Jika kita melihat para aulia, orang-orang saleh, dan para ulama, kita akan takjub akan kedekatan mereka dengan Tuhan mereka. Habib ‘Abdullah al-Haddad memberikan kunci yang memudahkan kita untuk menghamba secara sempurna kepada Allah sebagaimana yang dilakukan oleh para aulia, orang-orang saleh, dan para ulama.
Kunci yang diberikan Imam al-Haddad adalah dengan mengiaskan kepada diri kita sendiri. Jika kita memiliki seorang hamba yang kita sayangi, tentunya kita akan merasa senang jika ia taat terhadap perintah kita dan murka jika ia membangkang. Seperti itulah kita dapat mengiaskan diri kita di hadapan Allah. Tempatkanlah Allah di posisi diri kita ketika kita menjadi tuan dan tempatkanlah diri kita di posisi hamba yang kita miliki. Ini merupakan hikmah yang ringkas, tetapi mempunyai makna sangat dalam dan ini merupakan puncak dari kesempurnaan.
Kita telah mengetahui apa yang membuat senang diri kita ketika kita menjadi tuan, maka jadikanlah diri kita di posisi hamba ketika berhadapan dengan Allah. Jika engkau senang dengan ketaatan hamba terhadapmu, Allah pun juga senang dengan ketaatan hambanya. Hendaknya kita rido dengan segala ketentuan Allah, bersabar dengan segala ujian yang diberikan oleh-Nya, serta bersegera untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketika engkau bisa menempatkan dirimu di hadapan Allah sebagaimana hambamu di hadapanmu, saat itulah kita mencapai kesempurnaan yang paling sempurna.
Selain digunakan ketika berhubungan dengan Allah, kias tersebut juga bisa digunakan oleh kita untuk menjalin hubungan dengan Rasulullah dan dengan seorang guru. Kita akan menjadi sempurna jika kita mendapatkan diri di hadapan Allah, Rasulullah, dan guru kita selayaknya hamba yang kita miliki di hadapan kita.
Berbicara tentang penghambaan, hamba merupakan sifat yang luar biasa. Jika kita lihat dalam Al-Qur’an, ketika Allah membahas tentang Isra Mi‘raj yang merupakan karunia terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad di dunia, Allah mengizinkan Nabi Muhammad bertemu langsung dengan-Nya. Allah menyifatkan Nabi Muhammad ketika mendapatkan anugrah yang terbesar dengan kata hamba.
Salah satu pepatah Arab mengatakan,
لَا تَدْعُنِي إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا* فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِي
yang artinya, “Kalau kalian ingin memanggilku, jangan kalian panggil aku melainkan dengan panggilan ‘Wahai hamba sahaya si fulanah!’ karena bagiku itu merupakan nama yang paling mulia.”
Karena teramat cintanya, ia tidak ingin dipanggil sebagai kekasihnya, tetapi ingin dipanggil sebagai hambanya. Ia rela diperlakukan bagaimanapun oleh orang yang ia cintai.
Hakikat dari sifat penghambaan adalah pasrah. Namun, bukan hanya pasrah, melainkan juga senang dengan apa pun yang diberikan tuannya. Ada tiga tingkatan seorang hamba dalam menerima musibah, yaitu sabar, syukur, dan rido. Sabar merupakan tingkatan pertama seorang hamba, tetapi itu belum sempurna. Itu merupakan tingkatan hamba yang paling bawah karena masih merasakan sedikit kesusahan terhadap apa yang diberikan kepadanya. Di atas itu ada tingkatan syukur, yaitu ketika hamba bisa menikmati apa yang diberi. Adapun rido merupakan tingkatan yang paling tinggi bagi seorang hamba. Terserah tuannya mau memberikan apa pun, ia menerimanya. Dalam pepatah Arab dikatakan,
ضَرْبُ الْحَبِيْبِ كَأَكْلِ الزَّبِيْبِ
“Tamparan sang kekasih bagaikan memakan kismis.”
Sebagaimana seseorang yang merasa manis ketika ditampar kekasihnya, begitu pula hamba Allah. Bilamana telah sempurna penghambaannya kepada Allah, apa pun yang ia alami terasa nikmat. Tidak ada beda baginya antara ada atau tiadanya musibah, ia menikmati keduanya.
Sumber: https://radio.almuwasholah.com/station/ep-2-sempurnanya-hamba/