Hikam Imam Al-Haddad 4: Mencari Keridhoan Makhluk
Hikmah Ke-4
كَيْفَ يَكُوْنُ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَنْ يُرْضِي الْمَخْلُوْقِيْنَ بِسَخَطِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ ؟
Bagaimana mungkin ada orang dari kalangan mukmin yang mencari keridoan makhluk tapi dengan kemurkaan Allah Swt., Tuhan semesta alam?
Pada hikmah keempat, Imam al-Haddad membahas tentang keridoan Allah dan juga makhluk-Nya. Di antara keduanya, mana yang harus didahulukan? Tentunya keridoan Allah yang harus didahulukan.
Imam al-Haddad membawakan hikmah ini menggunakan istifham yang menunjukkan ta‘ajjub (keheranan). Imam Al-Haddad berkata, “Bagaimana bisa ada seseorang dari kalangan mukmin yang mencari keridoan makhluk dengan cara yang membuat Allah murka kepadanya?” Dia tidak peduli pada kemurkaan Allah demi mendapatkan keridoan makhluk. Bagaimana bisa begitu?
Rido terbagi menjadi dua. Pertama, rido Allah. Kedua, rido makhluk. Ketika Allah rido terhadap hamba-Nya, semua perihal dunia dan akhiratnya akan baik. Ia mendapatkan jaminan di dunia berupa ketenteraman, terlebih lagi urusan akhiratnya. Keridoan Allah terhadap hamba-Nya abadi, selama-lamanya. Ketika Allah telah ridha kepada hamba-Nya, ia tidak akan murka lagi kepadanya.
Yang kedua keridoan makhluk. Ketika makhluk rido terhadapmu, apa yang bisa ia berikan untukmu? Bisakah ia memberikan segala yang engkau mau? Apakah keridoannya akan kekal abadi? Keridoan makhluk tidak kekal abadi. Hari ini rido, esok hari belum tentu. Jika kita timbang antara keridoan Allah dan keridoan makhluk, tampak dengan jelas keridoan mana yang harus kita cari, yaitu keridoan Allah. Carilah keridoan Allah walaupun dengan kemurkaan makhluk. Jangan pedulikan kemurkaannya selagi Allah rido terhadapmu.
Sayidah Rabi‘ah al-‘Adawiyah, seorang wali perempuan yang berasal dari Mesir berkata,
إذا صح منك الود يا غاية المنى فكل الذي فوق التراب تراب
Maknanya, ‘Bilamana sudah sah cinta-Mu terhadapku, duhai Puncak Cita-Cita, setiap yang ada di atas debu itu hanyalah debu, tidak peduli orang mau melakukan apa pun.’
Syekh Umar Bamakhramah berkata,
إذا مولاي عن الراض استوى من المدح والسب
“Seandainya Tuhanku telah berkenan kepadaku, aku tidak memedulikan pujian dan cacian dari makhluk.”
Yang penting Allah rido. Keridoan Allah-lah yang sebenarnya harus kita cari. Tenanglah, ketika Allah telah rido kepadamu, seandainya ada yang benci, Allah akan menjagamu. Adanya orang yang benci itu hal biasa, bahkan itu merupakan pertanda diterimanya sebuah amalan.
Semestinya kita mencari keridoan Allah bagaimanapun caranya walaupun dengan kemurkaan makhluk. Oleh karena itu, Imam al-Haddad heran kepada orang yang berstatus mukmin tetapi malah berlaku sebaliknya. Ia percaya bahwa Allah adalah Tuhannya, tetapi ia rela mengorbankan keridoan Allah demi mendapatkan keridoan makhluk. Ia memilih keridoan makhluk yang terbatas walau dengan melakukan kemaksiatan. Ia telah mengorbankan perkara yang abadi dan memilih perkara yang fana.
Ketika sudah lemah iman seorang hamba, yang menjadi patokan pandangannya adalah perkara duniawi sehingga ia lupa akan perihal ukhrawi yang merupakan kehidupan abadi. Padahal, dikatakan,
رضى الناس غاية لا تدرك
“Membuat semua orang rido kepada diri kita adalah target yang tidak mungkin bisa digapai.”
Kita tidak bisa membuat orang sedunia suka kepada kita. Itu merupakan hal yang mustahil. Akan tetapi, ketika engkau mendapatkan rido dari Allah, Ia akan menjadikan semua orang suka kepada kita walaupun ada sedikit ujian yang akan kita dapatkan.
Dalam suatu hadis diriwayatkan,
إن الله يحب فلانا فأحبوه
‘Wahai penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai seseorang, maka cintailah ia!’
Maka dari itu, jika kita ingin terkenal, lebih baik terkenal di langit daripada di bumi. Ketika kita terkenal di langit, kita akan disenangi semua orang. Allah sendiri yang akan memasyhurkan kita. Namun, jika kita terkenal di bumi, kita akan dirundung (di-bully) dan tidak akan disenangi oleh semua orang. Ini merupakan sebuah teguran bagi orang-orang mencari keridoan makhluk.
Kalau kita melihat kalam Rabi‘ah al-‘Adawiyah dan Syekh Umar Bamakhramah, memang kita harus mencari rida Allah semata. Hanya saja, ada hal luar biasa yang perlu kita lihat juga di sini, yaitu kisah Nabi Muhammad ketika pulang dari Taif. Ketika Nabi Muhammad pulang dari Taif, beliau berdoa dengan doa yang sangat menakjubkan, yaitu
إن لم يكن بك علي غضب فلا أبالي, غير أن عافيتك أوسع لي
“Ya Allah, selagi Engkau tidak murka, aku senang, hanya saja kelembutan-Mu lebih aku harapkan.”
Maknanya, ‘Ya Allah, sekalipun semua orang menyiksaku, asalkan Engkau rido kepadaku, aku merasa bersyukur. Hanya saja, ya Allah, kelembutan-Mu tetap lebih nikmat bagiku.’ Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwasanya kita juga tidak diperkenankan mencari kemurkaan manusia. Mementingkan rido Allah tidak lantas berarti sengaja mencari kemurkaan manusia. Kita cari keridoan Allah dan katakan kepada-Nya, “Aku ingin keridoan juga kelembutan-Mu. Bisa jadi aku tidak kuat apabila dirundung orang.”
Ada sebuah kisah tentang seorang wali yang merasakan sakit ketika buang air kecil. Wali tersebut berkata kepada Allah, “Ya Allah, seandainya dalam penyakit ini ada keridoan-Mu, tambahkanlah rasa sakit ini.” Allah pun menambah rasa sakitnya. Akhirnya ia tidak kuat menahan sakitnya dan sedikit merintih. Ia kemudian merasa berdosa karena ia mengeluhkan sesuatu yang ia minta sendiri. Ketika ia lewat di depan anak-anak kecil yang belum punya dosa, ia meminta mereka untuk mendoakan dirinya yang telah berdusta. Ia merasa bersalah sehingga ia melakukan itu sebagai bentuk tebusan kepada Allah atas apa yang telah ia perbuat.
Kisah tersebut menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Ketika seseorang sudah cinta kepada Allah, segala hal yang berhubungan dengan-Nya akan menjadi nikmat. Akan tetapi, kelembutan dari-Nya tetaplah hal yang nikmat.
Source: https://radio.almuwasholah.com/station/ep-4-mencari-keridhoan-orang/