
Hikam Imam Al-Haddad 7: Qanaah: Kunci Kebahagiaan dan Kesejahteraan
Hikmah Ke-7
مَنْ لَمْ يَدْفَعْ عَنْهُ الْفَقْرَ قَلِيْلُ الْمَالِ ، لَمْ يُحَصِّلْ لَهُ الْغِنَى كَثِيْرُهُ. كَذَلِكَ مَنْ لَمْ يَنْتَفِعْ بِقَلِيْلِ الْعِلْمِ ، فَهُوَ مِنَ الْإِنْتَفَاعِ بِكَثِيْرِهِ أَبْعَدُ
Siapa yang tidak bisa mencegah kefakiran darinya bilamana mempunyai sedikit harta, ia tidak akan mendapat kekayaan bilamana mempunyai banyak harta. Begitu pula orang yang tidak mengambil manfaat dari ilmu yang sedikit, orang itu sangat jauh untuk mengambil manfaat dari ilmu yang banyak.
Dalam kalimat Imam al-Haddad tersebut terdapat dua tema penting, yaitu qanaah atau rasa berkecukupan, kemudian dikaitkan dengan tema kedua, yaitu manfaat suatu ilmu. Keduanya sekilas terlihat tidak berkaitan, tetapi Imam al-Haddad mampu menghubungkannya.
مَنْ لَمْ يَدْفَعْ عَنْهُ الْفَقْرَ قَلِيْلُ الْمَالِ ، لَمْ يُحَصِّلْ لَهُ الْغِنَى كَثِيْرُهُ
Kalimat tersebut berkaitan dengan qanaah atau rasa syukur. Jika sedikit harta tidak bisa mencegah kefakiran dalam diri, artinya ia merasa miskin, niscaya harta yang banyak pun tidak akan menghasilkan kekayaan. Harta dalam kalimat ini dikaitkan dengan harta duniawi.
Sering kali manusia luput dari rasa syukur dengan harta yang dimiliki, bahkan sering kali merasa kurang. Jika Allah Swt. menguji seseorang dengan harta yang sedikit, lalu dia merasa fakir dan memvonis dirinya sebagai seorang yang miskin, niscaya dia tetap tidak akan merasa cukup manakala Allah memberinya harta yang banyak.
Manusia tidak akan pernah merasa puas sampai ia masuk ke dalam liang lahat, seperti yang pernah disebutkan dalam hadis Rasul,
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ ، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya. Sama sekali tidak akan memenuhi mulutnya (membuatnya merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati). Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (HR Bukhari No. 6439 dan Muslim No. 1048).
Pada hakikatnya, kekayaan tidaklah diukur dari harta yang dimiliki. Sedikit atau banyaknya harta tidak bisa menentukan apakah seseorang kaya ataupun tidak. Disebutkan dalam bahasa Arab,
الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan yang sejati adalah kekayaan hati.”
Sebagai contoh, ada orang yang bisa makan dengan nikmat walau dengan lauk seadanya, bisa tidur dengan nyenyak di rumah yang sederhana, bisa berkendara dengan nyaman menggunakan motornya, dan tidak terlintas di hatinya untuk memiliki lebih daripada apa yang ia miliki. Hakikatnya orang seperti inilah yang kaya. Namun, ada juga orang yang sudah memiliki rumah dan mobil mewah, tetapi masih ingin rumah yang jauh lebih besar dan kendaraan yang lebih mewah.
Itu artinya selagi dalam dirinya masih memiliki perasaan tidak cukup atau kurang, hakikatnya ia berada dalam kemiskinan. Rasa berkekurangan dalam hati itulah hakikat kemiskinan. Orang tipe yang pertama berada dalam kenikmatan, sedangkan orang tipe yang kedua berada dalam penderitaan. Hakikat kekayaan tidak bisa diukur dengan finansial.
Lalu, siapakah mereka yang akan kaya ketika mereka mempunyai harta yang banyak? Ialah mereka yang sudah merasa kaya dan cukup dengan harta yang sedikit. Kita diajari oleh Imam al-Haddad untuk memiliki hati yang besar serta selalu mensyukuri apa yang ada. Jika memang ingin mendapat lebih dari apa yang sudah dimiliki, syaratnya harus mensyukuri dulu apa yang sudah dimiliki. Kuncinya adalah bersyukur, seperti dalam potongan ayat dari Qur’an surat Ibrahim ayat 7 yang berbunyi,
لَٮِٕنۡ شَكَرۡتُمۡ لَاَزِيۡدَنَّـكُمۡ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.”
Jika seseorang merasa kesulitan bersyukur karena merasa tidak punya apa-apa, yang bisa ia lakukan agar membuatnya bersyukur adalah melihat kondisi orang yang ada di bawahnya. Dengan begitu, ia akan merasa apa Allah berikan kepadanya sebagai sesuatu yang besar. Dalam perkara dunia, lihatlah orang yang di bawahmu. Adapun dalam perkara akhirat, lihatlah orang yang di atasmu. Jangan sampai terbalik.
Hal ini juga berlaku dalam hal ilmu. Dalam kalimat Imam al-Haddad berikutnya,
كَذَلِكَ مَنْ لَمْ يَنْتَفِعْ بِقَلِيْلِ الْعِلْمِ ، فَهُوَ مِنَ الْإِنْتَفَاعِ بِكَثِيْرِهِ أَبْعَدُ
Kalimat tersebut berkaitan dengan manfaat dari ilmu. Orang yang tidak bisa mengambil manfaat dengan ilmu yang sedikit, jika sudah memiliki banyak ilmu, tetap tidak akan bermanfaat ilmu itu baginya. Patokan kebermanfaatan ilmu, sebagaimana kekayaan harta, adalah saat kita masih sedikit memilikinya.
Ilmu akan menghilang jika tidak diajarkan. Namun, jika diajarkan atau disebarkan, keberkahan akan datang dan ilmu itu akan bertambah. Pada hakikatnya, mengajarkan ilmu mendatangkan lebih banyak manfaat terhadap orang yang mengajarkan. Al-‘ilmu yazidu bil-infaq. Ilmu bertambah dengan dibagikan. Ketika seseorang mengajarkan ilmu kepada yang lain, orang yang diajar akan mendapatkan ilmu baru, sedangkan orang yang mengajarkan akan mendapatkan banyak ilham dan keberkahan.
Mengajarkan ilmu itu harus dimulai ketika ilmu masih sedikit, merasa masih memerlukan, dan dalam keadaan tunduk kepada Allah. Sebab, jika seseorang baru mau mengajar ketika sudah memiliki banyak ilmu, dikhawatirkan akan hadir syaitan yang memunculkan kesombongan dalam diri orang tersebut. Sering kali manusia merasa malu dan belum cukup ilmu untuk mengajarkan. Namun tak sedikit juga yang merasa lebih paham daripada orang lain. Maka dari itu, harus diketahui batasan-batasannya.
Untuk ilmu yang penyebarannya harus dengan pengakuan dan penyaksian orang lain, seperti contohnya memberikan fatwa, kita tidak boleh menyodorkan diri untuk memberikan penjelasan. Ilmu-ilmu tersebut harus diajarkan oleh ahlinya. Adapun untuk ilmu yang kita ketahui, yang pernah kita dapatkan dari ulama-ulama, ilmu yang tidak perlu penyaksian yang lain, seperti mengajarkan salat dan mengaji, ilmu itulah yang wajib diajarkan kepada yang lain.
Dari kalimat Imam al-Haddad, qanaah dengan manfaat ilmu saling berkaitan. Antara sedikit harta dan sedikit ilmu, dengan banyak harta dan banyak ilmu. Jika harta yang kita miliki walau dengan nilai sedikit tidak bisa dimanfaatkan, begitu pun jika harta kita banyak. Begitu pula dengan ilmu. Jika ilmu yang sedikit tidak bisa bermanfaat, banyaknya ilmu pun tak akan menjadi manfaat. Setiap perkara yang banyak, selalu dimulai dari yang sedikit, maka kita harus selalu muhasabah dan belajar, apa yang bisa kita lakukan dengan yang sedikit.
Source: https://radio.almuwasholah.com/station/ep-6-sedikit-ilmu-tapi-bermanfaat/