Istri dan Pelayanan – Sayyid Hamid bin Umar bin Hafizh

Jakarta, Education AlMuwasholah

Istri dan Pelayanan ditulis oleh Sayyid Hamid bin Umar bin Hafizh, 24 September 2024

Bismillahirrohmanirrohim

EDU.ALMUWASHOLAH.COM ||

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Aku pernah menyisir rambut Rasulullah ﷺ saat aku sedang haid.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam kitab Syarh asy-Syamā’il, Al-Bājūrī berkata:
“Hadis ini menunjukkan kebolehan seorang suami meminta bantuan istrinya dengan kerelaannya, serta anjuran bagi seorang istri untuk melayani suaminya secara langsung.”

Di sini terdapat dua poin penting:

  1. Bolehnya seorang suami meminta istrinya untuk melayani, asalkan dengan kerelaannya.

  2. Anjuran bagi seorang istri untuk melayani suaminya dengan tangannya sendiri.

Pada poin pertama, penyebutan “dengan kerelaannya” menjadi isyarat bahwa meminta istri untuk melayani haruslah berdasarkan ridanya. Jika seorang suami ragu apakah istrinya benar-benar rela atau justru melakukan hal itu karena terpaksa atau malu, hendaklah ia menahan diri dan tidak memaksanya. Ia harus menyadari bahwa sesuatu yang diambil dengan rasa malu seolah-olah diambil dengan pedang, apalagi jika diperoleh dengan tekanan dan paksaan — tentu itu lebih zalim lagi.

Hal ini mengajarkan kita untuk menghargai segala bentuk pelayanan yang biasa diberikan oleh istri, seperti menyiapkan makanan, mencuci pakaian, atau merapikan rumah. Hendaknya seorang suami memintanya dengan penuh kelembutan dan permohonan, bukan dengan paksaan dan tuntutan. Jika istri tidak bersemangat untuk melakukannya di suatu waktu, suami tidak seharusnya marah atau kesal. Sebab, mencela orang yang berbuat baik hanya karena sesekali ia tidak melakukannya adalah tindakan tercela. Orang yang berjiwa mulia justru akan sibuk bersyukur atas kebaikan yang telah diterimanya, daripada menuntut lebih banyak lagi.

Adapun poin kedua, yaitu anjuran bagi istri untuk melayani suaminya, menunjukkan bahwa seorang istri sebaiknya tidak menjadikan tidak adanya kewajiban dalam hal ini sebagai alasan untuk meninggalkannya. Ia tidak sepatutnya merasa enggan melakukan suatu kemuliaan hanya karena tidak ada tuntutan wajib atasnya. Sebab, jika hubungan suami istri hanya dibatasi pada kewajiban dan hak semata, maka rumah tangga akan terasa sempit dan sesak, serta kehilangan kehangatan dan kasih sayang.

Seorang suami yang hanya menuntut hak dan seorang istri yang hanya menjalankan kewajiban, tanpa ada kelebihan kebaikan di antara keduanya, menjadikan rumah tangga tak ubahnya seperti sebuah mesin yang bekerja secara mekanis, tanpa cinta dan kelembutan. Sebagaimana dikatakan oleh Ar-Rāghib al-Aṣfahānī,

“Keadilan adalah pengganti cinta. Ia diperlukan hanya ketika cinta tidak ada.”

Namun, jika cinta telah hadir, keadilan pun akan tersisih, karena kasih sayang akan mengalir dengan sendirinya, tanpa perlu hitungan yang kaku. Sebagaimana tidak ada ruang bagi tayamum ketika air tersedia, begitu pula keadilan tak lagi dominan saat cinta dan ihsan (kebaikan) telah memenuhi relung hati. Sebab, kita tidak pernah mendengar dua orang yang saling mencintai membatasi hubungan mereka hanya dengan prinsip keadilan semata.

Selain itu, Allah tidak mengangkat kewajiban dalam perkara-perkara sunnah agar manusia meninggalkannya, melainkan agar orang-orang beriman bisa mengukur kadar cintanya kepada Allah. Apakah ibadah yang mereka lakukan masih terpisah dari perasaan cinta, sehingga mereka hanya mengerjakannya sekadar untuk menghindari hukuman? Ataukah mereka telah menemukan kelezatan dalam ibadah, hingga melaksanakannya dengan penuh cinta, meskipun tidak ada ancaman dosa jika meninggalkannya?

Oleh karena itu, balasan bagi mereka yang istiqamah dalam mengerjakan amalan sunnah adalah mendapatkan cinta dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi:

“Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya.”
(HR. Al-Bukhari)

Barangkali inilah rahasia mengapa para ulama menggunakan kata mustahabb — yang berasal dari akar kata hubb (cinta) — untuk menyebut amalan sunnah dan anjuran, bukan untuk kewajiban. Padahal, kewajiban juga merupakan sesuatu yang dicintai oleh Allah.

Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu, serta cinta kepada setiap amal yang mendekatkan kami kepada cinta-Mu. Hidupkanlah kami dalam cinta, wafatkanlah kami dalam cinta, dan kumpulkanlah kami bersama orang-orang yang memiliki cinta-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pemurah.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ, beserta keluarga dan para sahabatnya.

 

Penerjemah: Ustadz Adam Haikal
Sumber: https://aboaladyaf.blogspot.com/2024/09/blog-post_24.html

 

Related Articles