Saat-saat Rasa Sakit – Sayyid Hamid bin Umar bin Hafidz
Jakarta, Education AlMuwasholah
Saat-saat Rasa Sakit ditulis oleh Sayyid Hamid bin Umar bin Hafidz
Bismillahirrohmanirrohim
EDU.ALMUWASHOLAH.COM || Aku merasakan sedikit pusing yang membelenggu kepalaku beberapa jam belakangan ini. Lalu aku mendapati diriku menghitung dan menelusuri jam-jam itu, mengingat jam berapa sakit itu mulai. Ketika sedang berbicara dengan seseorang, aku berkata kepadanya, “Sejak jam sekian, sakit kepala ini mulai menyerangku.” Kemudian, akupun merenungi kondisiku dan segala sesuatu yang dibisikan oleh nafsu ammarohku dari segala buruknya adabku kepada Sang Pencipta!
Sebelum beberapa jam yang singkat itu, telah berlalu waktu demi waktu dan hari demi hari yang panjang, di mana limpahan kesehatan dari Allah terus mengalir kepadaku dan tidak pernah terputus. Namun, aku tidak pernah menghitung jam-jam itu, tidak pula menelusuri hari-hari itu. Bahkan, aku tidak pernah membicarakannya sama sekali!
Andai aku ingin melakukannya, niscaya aku akan kewalahan. Berapa banyak yang harus aku hitung dan berapa banyak yang harus aku catat?
Bayangkan olehmu jika seorang Kepala Negara memberimu seribu dolar setiap hari tanpa imbalan apa pun, ia memberikannya kepadamu tanpa kau harus melakukan apa pun sebagai balasannya. Kemudian, pada suatu hari, ia tidak memberimu apa-apa. Apakah harga dirimu mengizinkanmu untuk berkata kepada orang di sekitarmu, “Seharian penuh selama dua puluh empat jam, jam demi jam telah berlalu namun Pak Presiden tidak kunjung memberiku seribu dolar sebagaimana biasanya, Laa haula wala quwwata illa billah!”
Bahkan mungkin engkau akan merasa malu jika pikiran itu terlintas di benakmu karena sibuk dengan kesungkananmu atas kedermawanannya yang tidak kau pahami alasannya kecuali karena ia memang sosok yang dermawan.
Bukankah kesehatan yang Allah berikan kepadamu setiap hari lebih berharga daripada seribu dolar? Tidakkah kau menyaksikan banyak orang yang hilir-mudik ke tempat praktek dokter, lalu lalang dari satu ruangan di rumah sakit ke ruangan lainnya? menghabiskan uang sebesar itu, bahkan lebih, untuk mendapatkan kesehatan satu hari saja, tetapi tidak menemukan kesembuhan, dan uang pun tak kembali?
Allah memberimu kesehatan yang nilainya ribuan dolar setiap hari secara cuma-cuma, sedangkan kau tak hirau dan tak peduli. Lalu, ketika kesehatan itu terhenti selama beberapa jam saja, kau mulai menghitung dan menelusuri waktu, bahkan mungkin di dalam hatimu terbersit sedikit keluhan terhadap takdir-Nya, hingga melupakan semua kebaikan yang telah berlalu, seakan-akan Allah tak pernah melakukan apapun untukmu selain memutuskan kesehatan itu?
Ketika istrimu atau anakmu mengeluh karena kau lupa memenuhi satu permintaan mereka, kau langsung menyusun daftar permintaan lain yang telah kau penuhi untuk mereka. Kau berkata, “Betapa ingkarnya kalian! Kalian melupakan semua kebaikanku itu, puluhan permintaan yang telah aku penuhi setiap hari, dan sekarang kalian datang mengkomplain satu ini seolah-olah aku tak pernah berbuat baik. Seharusnya kalian malu menyebutkannya, karena itu menghapus kebaikan-kebaikan yang aku lakukan terus-menerus.” Lalu, kau pun memberikan ceramah panjang tentang pengingkaran.
Bayangkan kondisimu di hadapan Tuhanmu ketika Ia melihatmu lalai dengan nikmat-Nya, menikmatinya dan bersenang-senang dengannya, tanpa merasa bahwa itu adalah sesuatu yang besar, tanpa rasa malu, dan tak pernah membicarakan nikmat itu sambil merasakan syukur kepada-Nya, bahkan kau cenderung menutupinya dan mendiamkannya. Lalu, ketika salah satu nikmat-Nya terputus selama beberapa jam saja, kau mulai menghitung dan mengeluh kepada orang lain bahwa nikmat itu telah terhenti, dan bahkan secara detail kau sampaikan kepada mereka bahwa nikmat itu berhenti sejak saat ini (seraya menyebutkan waktu tertentu)
Anggaplah bahwa penyakit ini sebagai imbalan atas kesehatan di masa lalu, bukankah itu harga yang murah?
Seorang dokter datang untuk mengobatimu, ia menyakitimu dengan pengobatannya, namun kau menerimanya dengan hati yang lapang, berharap untuk mendapatkan kesembuhan, dan tidak merasa gusar. Bahkan, kau membayarnya dan menganggapnya sebagai orang yang telah berbuat baik kepadamu meski dengan menyakitimu saat ini, karena itu adalah harga untuk kesembuhan di masa depan. Maka, kau pun rela merasakan sakit, karena itu adalah harga yang harus dibayar di muka demi mendapatkan kesehatan.
Bukankah orang yang menerima bayaran di kemudian hari lebih mulia dari pada yang meminta bayaran di muka?
Anggaplah penyakit ini sebagai harga tertunda dari kesehatan yang telah kau rasakan di masa lalu, dan bersyukurlah kepada yang menimpakan penyakit ini kepadamu sebagaimana kau bersyukur kepada yang menimpakan penyakit demi kesembuhan di masa depan. Jangan lupa bahwa ini lebih layak untuk disyukuri daripada itu, karena kesembuhan di masa depan belum pasti, sedangkan yang ini telah kau nikmati. Maka, harga yang harus kau bayar untuknya lebih layak untuk dikeluarkan.
Selain itu, kau membayar dokter yang menyakitimu demi kesembuhan yang belum pasti. Sedangkan di sini, tidak ada bayaran yang harus kau keluarkan. Bahkan, ada potongan harga. Sebagai ganti bayaran, kau malah mendapat pahala, tidak membayarnya. Ini adalah penawaran istimewa, seperti halnya seorang dokter yang mengobatimu lalu memberimu sejumlah harta.
Itu semua jika kau menyamakan Tuhanmu dengan seorang dokter. Padahal, kenyataannya jauh lebih besar dan lebih agung dari itu. Allah Maha Mulia dalam segala perumpamaan.
Betapa indahnya perkataan Mahmud Al-Warraq:
“Anugera yang ia berikan adalah sebuah kebahagiaan (bagi penerimanya)
Namun jika Ia mengambil anugerahNya, Ia akan memberikan pahala sebagai gantinya.
Nikmat yang manakah yang lebih layak untuk disyukuri
Dan lebih baik dalam akibatnya nanti?
Apakah nikmat yang memberi kebahagiaan
Atau yang satu lagi yang memberi pahala?”
Aku pun bertanya-tanya, apa yang membuat salah satu di antara kita tidak menyadari nikmat kesehatan yang terus-menerus dan namun justru sangat fokus sepenuhnya pada detik-detik penyakit yang sementara? Mungkin hal itu disebabkan oleh dua hal:
Pertama, karena nikmat kesehatan itu berlangsung terus-menerus, tampak begitu jelas pada setiap organ tubuh, seluruh sendi, setiap saraf, setiap pembuluh darah, dan setiap sel kulitmu. Karena begitu jelasnya, ia menjadi terlupakan. Sedangkan penyakit, waktunya singkat dan biasanya terbatas pada satu tempat tertentu, kadang penyakit mendera kulit tanpa mendera tulang, atau bahkan di sebagian kulit saja, atau sebaliknya. Oleh sebab itu, penyakit terasa tampak jelas di dalam benakmu.
Maha suci Dzat yang nikmatNya begitu banyak dan melimpah, begitu nyata hingga melampaui kapasitas akal kita untuk menyadari dan memperhatikan semuanya. Kita lalai mensyukurinya bukan karena nikmat itu kurang, dan kita tidak mampu melihatnya bukan karena tersembunyi, tetapi justru karena nikmat itu terlalu jelas. Ini mengingatkanku pada pepatah yang mengatakan, “Karena terlalu jelas, ia menjadi tersembunyi.”
Betapa menakjubkan perumpamaan yang diberikan oleh Hujjatul Islam (Al-Ghazali) dalam hal ini. Intinya, jika kau diminta menghitung benda-benda yang ada di ruangan tempatmu berada, kau akan mulai menghitung lantai, atap, lampu, dan berbagai benda lainnya. Namun, kau mungkin tidak akan menghitung cahaya yang menerangi ruangan, padahal jika cahaya itu hilang Kau tidak akan bisa melihat apa-apa—baik lampu, atap, maupun benda lainnya—jika cahaya itu hilang. Lalu, apa yang membuatmu lalai menghitung cahaya tersebut selain karena ia merupakan hal paling nyata di ruangan hingga kau teralihkan darinya dan melupakannya? Karena terlalu jelas, ia justru menjadi tersembunyi.
Ambillah contoh ini untuk menggambarkan terangnya cahaya keindahan Allah yang meliputi seluruh alam semesta dan makhluk-Nya. Kau tidak menyadari cahaya tersebut karena terlalu jelas, namun para ahli makrifat melihatnya karena mereka terbebas dari belenggu kelalaian. Kebutaanmu terhadap apa yang mereka saksikan bukan karena cahaya itu jauh atau rumit sehingga membutuhkan penglihatan tajam. Yang menghalangimu adalah tirai kelalaian yang kau bersikeras untuk tetap memakainya.
Hal Kedua: Ilusi Hak yang Menguasai Akal Kita
Kita kerap terjebak dalam anggapan bahwa nikmat-nikmat Allah yang datang kepada kita adalah hak kita, seperti upah yang berhak diterima seorang pekerja karena usahanya. Padahal, nikmat-nikmat ilahi hanyalah pinjaman yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali dan hanya dititipkan sementara. Jika kita menjaga nikmat itu dengan baik, maka ia akan tetap bersama kita. Jika tidak, kita akan kehilangannya.
Hujjatul Islam (Imam Al-Ghazali) memberikan contoh dalam hal ini. Bayangkan seseorang datang kepadamu dengan membawa piring emas berisi berbagai bunga, wewangian, dan tumbuh-tumbuhan harum. Ia mendekatkan piring itu kepadamu agar kau bisa menghirup dan menikmati aroma harum yang ada. Setelah itu, ia memintamu mengembalikan piring tersebut. Kau merasa senang dengan kebaikannya, dan setelah kau menikmati harumnya bunga, kau mengembalikan piring itu kepadanya dengan perasaan gembira dan bahagia.
Namun, apa yang terjadi jika kau salah memahami maksud orang tersebut? Jika kau mengira bahwa ia berniat memberikan piring itu beserta isinya kepadamu, maka ketika ia memintamu mengembalikannya, kau akan merasa kecewa dan wajahmu berubah muram. Bukan karena orang itu pelit, melainkan karena kau salah paham.
Begitu pula halnya jika kau meminjam mobil temanmu untuk suatu perjalanan, lalu ia datang mengambil mobil itu kembali. Kau akan berterima kasih kepadanya atas kemurahan hatinya yang telah meminjamkan mobil tersebut kepadamu.
Tuhanmu, ketika Ia memberimu kesehatan atau nikmat lainnya, jangan beranggapan bahwa Ia menjualnya kepadamu. Allah hanya meminjamkannya sebagai pinjaman. Maka, ketika Ia mengambilnya kembali, kau seharusnya bersyukur atas nikmat yang telah diberikan meski sebenarnya kau tak layak menerimanya. Jika tidak, kau akan seperti seseorang yang meminjam mobil temannya untuk perjalanan, tetapi tak mau mengembalikannya hingga si pemilik kesal dan jengkel. Inilah balasan buruk yang kau berikan atas pinjaman itu.
Ya Allah, hiasilah diri kami dengan adab kepada-Mu, limpahkanlah kepada kami pakaian kesehatan dan jangan cabut itu dari kami. Karuniakanlah kami kesehatan hati dan tubuh, kesehatan di dunia dan akhirat. Berilah kami ilham untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang Kau berikan kepada kami, karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Penerjemah: Ustadz Adam Haikal
Sumber: https://aboaladyaf.blogspot.com/2024/09/blog-post.html