
Hikam Imam Al-Haddad 13 : Mengetahui Nilai Suatu Kenikmatan
Education AlMuwasholah | Hikam Ke-13
مَا عُرِفَ قَدْرُ الشَّيْءِ بِمِثْلِ ضِدِّهِ ، وَلَا تُسَلَّى الْمُصَابُ بِمِثْلِ ذِكْرِ مَنْ أُصِيبَ بِمِثْلِ مُصِيبَتِهِ
Tidaklah diketahui nilai atau kadar dari sesuatu kecuali dengan mengetahui kebalikannya; Dan tiada cara yang lebih ampuh untuk menenangkan orang yang tertimpa musibah selain dengan mengingat orang lain yang mengalami musibah serupa
Mengetahui kebalikan dari suatu hal akan mengantarkan kita untuk mengetahui seberapa bernilai hal tersebut. Contohnya kesehatan. Saat kita sehat, kita bisa berkeluyuran ke mana-mana, bersantai-santai. Namun, saat kita sakit, kita baru sadar dan mengerti betapa berharganya nilai dari kesehatan. Disampaikan dalam pepatah Arab, “Kesehatan itu bagaikan mahkota yang ada di atas kepala seseorang.” Seseorang tidak bisa melihat mahkota di atas kepala. Orang lain yang justru bisa melihatnya. Demikianlah, saat kita sakit, kita baru bisa merasakan betapa enaknya menjadi orang yang sehat. Saat suatu kenikmatan itu dicabut, baru terasa betapa pentingnya kenikmatan tersebut. Untuk itu, agar tidak tercabut, nikmat itu perlu kita syukuri. Sebab, syukur itu adalah “paku” dari kenikmatan sekaligus penambah rasa nikmat tersebut. Allah berfirman,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambahkan nikmat kepadamu.” (Ibrahim: 7)
Contoh lainnya adalah kekayaan. Saat seseorang kaya raya, biasanya ia merasa biasa saja. Setelah jatuh miskin, barulah terasa nilai kekayaan tadi. Contoh berikutnya adalah kekuatan seseorang saat masih muda. Hal ini juga baru disadari nilainya ketika sudah tua, badannya melemah dan loyo, tidak seperti di masa muda.
Hikmah di atas adalah anjuran agar kita mensyukuri nikmat yang sudah kita miliki. Syukurilah apa yang engkau punya. Apa yang engkau punya sekarang adalah karunia besar yang tak engkau ketahui harganya. Tatkala nikmat itu dicabut darimu, barulah engkau akan menyadarinya. Di dalam sebuah syair dikatakan,
وحافظ عليها بشكر الإله، فإن الإله سريع النقم
Jagalah nikmat itu dengan bersyukur kepada Tuhan, sebab Tuhan itu Maha Cepat dalam mencabut nikmat
Imam al-Haddad melanjutkan hikmah ini dengan mengatakan bahwa tidaklah ada cara yang lebih ampuh untuk menenangkan orang yang tertimpa musibah selain dengan mengingat orang yang mengalami musibah seperti yang dia alami. Manakala seseorang terkena musibah duniawi, seperti kehilangan harta, keluarganya meninggal, atau terkena penyakit, ia akan bersedih. Hal ini manusiawi karena memang sifat umum manusia demikian adanya. Di sini Imam al-Haddad menawarkan cara yang bisa meringankan perasaan orang yang mengalaminya, yakni dengan mengingat musibah sejenis yang dialami orang lain atau bahkan yang lebih parah. Semisal ada orang yang mengalami musibah kakinya sakit, maka diceritakan kepadanya orang lain yang mengalami kecelakaan sehingga patah kedua kakinya. Kesadaran akan adanya musibah yang lebih berat yang dialami orang lain akan membuat orang yang terkena musibah itu menjadi terhibur.
Sedikit yang perlu menjadi catatan bersama adalah, saat kita bersyukur karena mengalami musibah yang tidak terlalu berat dibandingkan dengan orang lain, kembalikanlah kepada diri sendiri. Artinya, kita bukan mensyukuri musibah orang lain tersebut. Bagi orang-orang yang arif billah, bersyukur di tengah musibah yang dialami orang lain adalah sebuah kekurangan. Mereka berhati-hati dalam masalah ini.
Dikisahkan di zaman Imam Hasan al-Basri pernah terjadi kebakaran di pasar. Semua kios di pasar tersebut terbakar, kecuali kios milik Imam Hasan al-Basri. Ketika mendapat kabar tersebut, Imam Hasan al-Basri mengucap alhamdulillah sebagai rasa syukur atas terhindarnya kios beliau dari musibah kebakaran. Namun, kemudian beliau berpikir, bagaimana bisa saya mengucap alhamdulillah di saat yang lain sedang mengalami musibah? Imam Hasan al-Basri menganggap ini sebagai kelalaian baginya sehingga beliau beristigfar atas ucapan alhamdulillah tadi selama empat puluh tahun.
Jadi, bersyukur atas ringannya musibah yang kita alami dan merasa lebih ringan daripada yang lain itu bagus, asalkan bukan untuk mensyukuri musibah yang dialami orang lain. Yang kita syukuri adalah bahwa Allah memberikan musibah yang ringan kepada kita. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang tipis, namun perlu diperhatikan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hikmah ini berisi dua obat bagi orang yang mengalami musibah:
1. Tatkala kita terkena musibah, ingatlah orang lain yang pernah mengalami musibah yang serupa atau lebih parah agar kita dapat bersyukur atas keringanan musibah yang Allah berikan.
2. Kita baru memahami nikmat yang kita rasakan sebelumnya setelah kita mengalami musibah berupa hilangnya nikmat tersebut. Jadi, jagalah nikmat itu dan nikmat-nikmat lain yang sudah ada dengan cara selalu mensyukurinya.