Hikam Imam Al Haddad 15 : Hakikat Dunia yang engkau Nikmati

Education AlMuwasholah | Hikmah ke-15

عَجَبًاً لِمَنْ يَطْلُبُ الدُّنْيَا وَهُوَ مِنْ تَحْصِيلِهَا عَلَى

وَهْمٍ ، وَمِنَ الِْانْتِفَاعِ بِمَا حَصَّلَهُ مِنْهَا عَلَى شَكٍّ .وَمِنْ

تَرْكِهَا وَالْخُرُوجِ مِنْهَا عَلَى يَقِينٍ

“Sungguh aneh orang yang mencari dunia. Apakah dia pasti akan mendapatkan dunia itu? Mungkin iya, mungkin tidak (hanya fatamorgana). Andaipun ia mendapatkan dunia itu, apakah ia pasti akan memanfaatkannya atau hanya memilikinya saja? Sementara ia yakin bahwa ia pasti akan meninggalkan dunia ini suatu hari nanti.”

Ada tiga poin yang perlu diperhatikan dari kaul tersebut:

  1. Orang yang mencari dunia hanya memiliki dua kemungkinan: mendapatkannya atau tidak. Kita terus mengejar dunia, padahal belum tentu berhasil. Bisa dapat, bisa tidak.
  2. Jika dunia sudah didapatkan, apakah dunia yang didapatkan akan dimanfaatkan atau hanya dimiliki saja? Karena ada orang yang memiliki sesuatu, tetapi tidak menikmati semuanya, tidak bisa merasakan manfaatnya. Misalnya, ada orang punya rumah besar dan mobilnya banyak. Apakah semua itu benar-benar dinikmati? Hakikat dunia adalah apa yang engkau nikmati, bukan apa yang engkau miliki. Ada orang yang memiliki tapi tidak menikmati. Ini berarti ia masih miskin. Sebaliknya, ada orang yang tidak memiliki, tetapi ia menikmati hidupnya. Inilah orang yang benar-benar kaya. 
  3. Dunia yang didapatkan ataupun yang dimiliki pun tidak kekal. Semua itu tidak akan dibawa mati. Kita yakin bahwa suatu saat akan meninggal. Kalau memang yakin, lalu mengapa masih terlalu sibuk mencari dunia? 

Oleh karena itu, untuk apa mengejar dunia, sementara di hadapan kita ada tiga kenyataan tadi? Apakah artinya kita harus bertapa di gua untuk menghindarinya? Tidak. 

Lalu, apakah pekerjaan duniawi kita berarti kita sedang mengejar dunia? Apakah sebaiknya kita lepaskan saja semua keterkaitan kita dengan dunia, termasuk pekerjaan kita saat ini? Tidak juga. Justru dalam pekerjaan itu, kita bisa berada dalam ibadah. Maka, ketika bekerja, janganlah dunia yang menjadi tujuan. Jadikan itu sebagai sarana untuk beribadah. 

Habib Hasan asy-Syathiri berkata, banyak dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan keringat seseorang yang bekerja keras. Ia berjuang mati-matian demi menafkahi keluarganya, demi mencari yang halal, dan menahan diri dari yang haram. Keletihan dalam bekerja dapat menghapuskan dosa seseorang. Bahkan, banyak orang  yang mencapai derajat tinggi dan itu tidak tercapai kecuali melalui keletihan dalam bekerja. Jadi, saat bekerja, ingatlah tiga poin diatas. Tapi ketahuilah juga bahwa bekerja bisa menjadi momen untuk beribadah. 

Ada hadis yang menyebutkan bahwa barang siapa keluar mencari nafkah untuk keluarganya, kemudian ia meninggal dalam perjalanan, maka ia dalam keadaan mati syahid. Artinya, setiap kita yang bekerja sebenarnya sedang berjihad. Maka, poin pentingnya satu: ketika berniat bekerja, jangan karena ingin mencari dunia, tapi karena ingin mematuhi perintah Allah. Allah tidak suka jika kita hanya berdiam diri, bengong, dan menunggu rezeki datang begitu saja. Allah ingin kita bergerak. 

Al-barakah fil-harakah, keberkahan ada dalam gerakan. Jangan hanya menunggu rezeki. Ikutilah perintah Allah dengan bergerak, bukan demi dunia. Biasanya, orang yang seperti ini akan lebih tenang pikiran dan hatinya. Dunia justru akan datang mencarinya. 

Ketika dalam perjalanan untuk bekerja, baik naik motor, mobil, kereta, maupun berjalan kaki, coba tanyakan kembali pada diri sendiri, apa yang kita lakukan sekarang? Untuk apa kita melakukannya? 

Contoh niat bekerja yang benar bukanlah, “Saya bekerja supaya dapat banyak uang, lalu jadi kaya, lalu bisa punya rumah yang luas.” Niat seperti ini bisa membahayakan hati. Tapi niatkan, “Saya keluar rumah untuk menaati perintah Allah, berikhtiar, bergerak, mencari rezeki yang halal, menafkahi keluarga, dan menahan diri dari hal-hal yang haram.” Dengan niat seperti ini, aktivitas kita menjadi bagian dari ibadah.

Sering kita dengar bahwa orang yang menuntut ilmu itu mulia, tetapi orang yang bekerja pun memiliki kemuliaan yang sama. Keduanya sedang berjihad. Jika meninggal dalam perjalanan saat melakukan salah satu dari dua hal tersebut, keduanya tergolong mati syahid. Ini semua adalah bentuk jihad. 

Ada sebuah kisah, tidak ada seorang pun yang dilantik menjadi wali Allah, kecuali pada malam hari. Suatu ketika, ada seorang wali Allah yang akan meninggal. Ia sedang mencari pengganti. Malam itu, tidak ada seorang pun yang bangun, kecuali satu orang yang sedang membuat bakwan. Ia bangun antara pukul 2 hingga 3 dini hari untuk menyiapkan jualan pagi harinya. Apa yang ia lakukan itu adalah ibadah, yang penting niatnya bagus, maka orang inilah yang akhirnya terpilih menjadi wali Allah. Qiamulailnya bukan dalam bentuk salat atau mengaji, tapi dengan mengadon bakwan demi menghidupi keluarganya. Itu pun merupakan ibadah besar. Semua kuncinya ada di malam hari.

Related Articles